Aquarius Star

Puisi-puisi Sufi Mahabbah Cinta Rabi’ah al-Adawiyah. Pada posting Puisi-puisi Sufi Pilihan Jalaluddin Rumi di blog ini sebelumnya, ditandaskan bahwa puisi sufi atau bisa pula dinamakan puisi cinta adalah manifestasi seorang penyair yang sadar sebagai makhluk spiritual. Sebagai makhluk sosial, seorang insan senantiasa berusaha mengungkapkan kerinduannya akan nilai-nilai spiritual demi menciptakan keutuhan dirinya.

Sementara itu, kita sadari bersama bahwa nilai-nilai spiritual itu kian hari kian tergerus oleh peradaban modern yang lebih berorientasi pada materialisme dan hedonisme. Di mana orang berlomba-lomba berhasrat dan berusaha apa saja agar memperoleh  “kepemilikan benda tertentu” dan mengejar kesenangan sesaat dengan bergaya hidup hura-hura.
Ternyata banyak orang menyadari pula, bahwa hidup dan kehidupan melulu berorientasi kebendaan dan kesenangan sesaat di atas tidak melahirkan ketenangan jiwa. Situasi dan kondisi kedahagaan seperti inilah yang membangkitkan banyak orang untuk mereguk kembali nilai-nilai spiritual dari keyakinan agama yang dianutnya. Yakni ajaran-ajaran yang dapat membawa kedamaian jiwa sebagai penawar dahaga di tengah  teriknya padang peradaban manusia yang gersang.
Bergandengan tangan dengan masalah nilai-nilai spiritual dimaksud, para sufi dengan ajaran tasawuf-nya mendapat tempat tersendiri dari banyak orang yang tengah mencari “keutuhan” dirinya itu. Dalam konteks inilah, harapan saya posting Puisi-puisi Sufi Rabi’ah al-Adawiyah dapat sedikit mengairi padang jiwa kita yang kering kerontang itu.
Mengenai tasawuf sendiri, Philip K. Hitti dalam buku History of The Arabs, mengatakan bahwa tasawuf bukanlah satu tatanan ajaran, akan tetapi lebih sebagai modus pemikiran dan perasaan dalam kerangka agama. Ia merupakan bentuk mistisisme dalam Islam.
Dikatakan lebih lanjut, pada awal kemunculannya mistisisme menampilkan suatu reaksi perlawanan terhadap upaya intelektualisme dan formalisme ajaran Islam dan Al-Qur’an yang berkembang sebagai konsekuensi.
Kata Philip K. Hitti, “Secara psikologis landasan tasawuf harus dicari dalam hasrat besar manusia untuk menyingkapkan kebenaran Tuhan dan kebenaran agama, upaya untuk mendekati Tuhan secara langsung, serta pengalaman yang lebih personal dan lebih mendalam tentang kedua kebenaran itu… Tasawuf menelusuri sumbernya dari Al-Qur’an dan Hadits.”
***
Salah satu ciri utama para sufi ialah usahanya yang gigih untuk mencapai puncak makrifat, hingga “pertemuan” dengan Illahi Rabbi. Untuk menuju “pertemuan” itu, Rabiah al-Adawiyah menyebutnya ajaran Cinta Illahi. Cinta adalah perasaan yang menenangkan hati dan meramaikan kalbu. Cinta dapat ditingkatkan mencapai puncak. Dan puncak segala cinta adalah cinta kepada Yang Maha Mencinta, yakni Allah SWT.
Puisi-puisi Sufi atau Syair-syair Cinta Rabi’ah al-Adawiyah berikut, saya kutip dari buku Mahabbah Cinta Rabi’ah al-Adawiyah, terbitan Yayasan Bentang Budaya Yogyakarta, Cetakan Keempat Juni 1999. Editornya Asfari MS dan Otto Sukatno CR. Tentu saja tidak dikutip semuanya. Saya  juga melakukan beberapa sentuhan bahasa, agar puisi ini lebih puitis. Selamat membaca.

I
Alangkah sedihnya perasaan dimabuk cinta
Hatinya menggelepar menahan dahaga rindu
Cinta digenggam walau apapun terjadi
Tatkala terputus, ia sambung seperti mula
Lika-liku cinta, terkadang bertemu surga
Menikmati pertemuan indah dan abadi
Tapi tak jarang bertemu neraka
Dalam pertarungan yang tiada berpantai
II
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena diriku, adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu, adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir
Hingga Engkau ku lihat
Baik untuk ini maupun untuk itu
Pujian bukanlah bagiku
Bagi-Mu pujian untuk semua itu
III
Tuhanku, tenggelamkan aku dalam cinta-Mu
Hingga tak ada satupun yang mengganguku dalam jumpa-Mu
Tuhanku, bintang gemintang berkelip-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu pintu istana pun telah rapat
Tuhanku, demikian malam pun berlalau
Dan inilah siang datang menjelang
Aku menjadi resah gelisah
Apakah persembahan malamku, Engkau terima
Hingga aku berhak mereguk bahagia
Ataukah itu Kau tolak, hingga aku dihimpit duka,
Demi kemahakuasaan-Mu
Inilah yang akan selalau ku lakukan
Selama Kau beri aku kehidupan
Demi kemanusian-Mu,
Andai Kau usir aku dari pintu-Mu
Aku tak akan pergi berlalu
Karena cintaku pada-Mu sepenuh kalbu
IV
Ya Allah, apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di dunia ini,
Berikanlah kepada musuh-musuh-Mu
Dan apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di akhirat nanti,
Berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu
Karena Engkau sendiri, cukuplah bagiku
V
Aku mengabdi kepada Tuhan
bukan karena takut neraka
Bukan pula karena mengharap masuk surga
Tetapi aku mengabdi,
Karena cintaku pada-Nya
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu
karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembah-Mu
karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu
yang abadi padaku
VI
Alangkah buruknya,
Orang yang menyembah Allah
Lantaran mengharap surga
Dan ingin diselamatkan dari api neraka
Seandainya surga dan neraka tak ada
Apakah engkau tidak akan menyembah-Nya?
Aku menyembah Allah
Lantaran mengharap ridha-Nya
Nikmat dan anugerah yang diberikan-Nya
Sudah cukup menggerakkan hatiku
Untuk menyembah-Mu
VII
Sulit menjelaskan apa hakikat cinta
Ia kerinduan dari gambaran perasaan
Hanya orang
yang merasakan dan mengetahui
Bagaimana mungkin
Engkau dapat menggambarkan
Sesuatu yang engkau sendiri bagai hilang
dari hadapan-Nya, walau ujudmu
Masih ada karena hatimu gembira yang
Membuat lidahmu kelu
VIII
Andai cintaku
Di sisimu sesuai dengan apa
Yang kulihat dalam mimpi
Berarti umurku telah terlewati
Tanpa sedikit pun memberi makna
IX
Tuhan, semua yang aku dengar
di alam raya ini, dari ciptaan-Mu
Kicauan burung, desiran dedaunan
Gemericik air pancuran
Senandung burung tekukur
Sepoian angin, gelegar guruh
Dan kilat yang berkejaran
Kini
Aku pahami sebagai pertanda
Atas keagungan-Mu
Sebagai saksi abadi, atas keesaan-Mu
dan
Sebagai kabar berita bagi manusia
Bahwa tak satu pun ada
Yang menandingi dan menyekutui-Mu
X
Bekalku memang masih sedikit
Sedang aku belum melihat tujuanku
Apakah aku meratapi nasibku
Karena bekalku yang masih kurang
Atau karena jauh di jalan yang ‘kan kutempuh
Apakah Engkau akan membakarku
O, tujuan hidupku
Di mana lagi tumpuan harapanku pada-Mu
Kepada siapa lagi aku mengadu?
XI
Ya Allah
Semua jerih payahku
Dan semua hasratku di antara segala
kesenangan-kesenangan
Di dunia ini, adalah untuk mengingat Engkau
Dan di akhirat nanti, di antara segala kesenangan
Adalah untuk berjumpa dengan-Mu
Begitu halnya dengan diriku
Seperti yang telah Kau katakan
Kini, perbuatlah seperti yang Engkau kehendaki
XII
Ya Tuhan, lenganku telah patah
Aku merasa penderitaan yang hebat atas segala
yang telah menimpaku
Aku akan menghadapi segala penderitaan itu dengan sabar
Namun aku masih bertanya-tanya
Dan mencari-cari jawabannya
Apakah Engkau ridha akan aku
Ya, Ya Allah
O Tuhan, inilah yang selalu mengganggu langit pikiranku
XIII
Ya Allah
Aku berlindung pada Engkau
Dari hal-hal yang memalingkan aku dari Engkau
Dan dari setiap hambatan
Yang akan menghalangi Engkau
Dari aku
XIV
Ya Illahi Rabbi
Malam telah berlalu
Dan siang datang menghampiri
Oh andaikan malam selalu datang
Tentu aku akan bahagia
Demi keagungan-Mu
Walau Kau tolak aku mengetuk pintu-Mu
Aku akan tetap menanti di depannya
Karena hatiku telah terpaut pada-Mu
XV
Tuhanku
Tenggelamkan diriku ke dalam lautan
Keikhlasan mencintai-M
Hingga tak ada sesuatu yang menyibukkanku
Selain berdzikir kepada-Mu

Buat Laiely

Bagi kaum sufi, mensucikan hati dan pikiran adalah sebuah jalan yang tak boleh dilanggar agar mata bathinnya senantiasa ada dalam pencerahan. Setiap saat ada dalam keadaan Tuhan mencintainya dan ia pun mencintai Tuhan dengan sepenuh jiwanya, sepenuh hatinya. Tak ada yang lebih dicintai kecuali Tuhan itu sendiri. Tuhan sebagai tujuan dan Tuhan adalah sesuatu yang final dalam kehidupannya. Cinta dan kasih sayang Illahi itu kemudian ia refleksikan dalam mencintai dan mengasihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya, berdzikir dan beribadat siang dan malam.


Warna aliran sufi cinta Illahi ini dibawa oleh Rabi’ah al Adawiyah. Ia dianggap sebagai pendiri sufi yang mengembangkan totalitas kecintaan pada Allah. Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya memiliki keunikan tersendiri. Ia memiliki komunikasi transendental yang sangat halus dan peka. Bahasa cintanya bukan hanya menghujam dan menggetarkan siapa pun yang membacanya, namun juga membawa pada pengembaraan spriritual yang jauh melebihi batas langit.

Rabi’ah al Adawiyah lahir di Basrah pada tahun 95 H (714 M) dan meninggal di Jerussalem pada tahun 185 H (796 M). Ia terlahir dari keluarga yang saleh dan zuhud. Kematian ayahnya dan bencana kemarau panjang membuatnya hidup terlunta-lunta dan terpisah dari saudara-saudaranya. Inilah yang menyebabkan Rabi’ah kemudian Rabi’ah dijual oleh perampok dan dijadikan budak.
Kesengsaraan, kepedihan dan buruknya kehidupan yang dialaminya tidak membuat ia menjadi kufur. Ia menjadikan semuanya sebagai jalan mendekatkan diri kepada Yang Maha Suci. Ia membersihkan seluruh jiwanya dan ridha terhadap apa yang ia alami dengan segala suka dukanya akhirnya membuat antara kepedihan dan kebahagiaan dimata Rabi’ah tak ada beda. Yang terpenting baginya adalah cinta dan ridha dari Tuhan itu sendiri.
Yaa.. Tuhan, lenganku telah patah
Aku merasa penderitaan yang hebat atas segala yang menimpaku
Aku akan menghadapi segala penderitaan itu dengan sabar
Namun aku masih bertanya-tanya
Dan mencari-cari jawabannya
Apakah Engkau ridha akan aku
Ya Allah….Ya Allah…
O’ Tuhan..inilah yang selalu mengganggu langit pikiranku.
Rabi’ah al Adawiyah senantiasa menetralisir seluruh luka-luka dunia dan kepedihan dirinya dengan berdzikir. Dengan lembut ia berkata pada Tuhannya :
Tuhanku,
Tenggelamkan diriku ke dalam lautan keikhlasan mencintai-Mu
Hingga tak ada sesuatu yang menyibukanku
Selain berdzikir kepada-Mu
Di malam hari, ketika hampir semua manusia terlelap tidur, maka Rabi’ah al Adawiyah terjaga. Bagi Rabi’ah inilah saat-saat yang terindah berasyik masyuk dengan sang Maha Raya.
Tuhanku, bintang gemintang berkelip-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu-pintu istana pun telah rapat
Tuhanku, demikian malam pun telah berlalu
Dan siang datang menjelang
Aku menjadi resah dan gelisah
Apakah persembahan malamku Engkau terima ?
Hingga aku berhak mereguk bahagia
Ataukah itu kau tolak, hingga aku dihimpit duka
Demi ke-Maha Kuasaan-Mu
Inilah yang selalu kulakukan
Selama Kau beri aku kehidupan
Demi Kemanusiaan-Mu
Andai Kau usir aku dari pintu-Mu
Aku tak akan pergi berlalu
Karena cintaku pada-Mu sepenuh kalbu
Sesungguhnya, banyak sekali lantunan-lantunan syahdu dari Rabi’ah Al Adawiyah kepada Tuhannya yang mungkin melampaui batas perasaan, sensitivitas ruhani kebanyakan orang yang hatinya terikat pada gravitasi bumi, sangat duniawi. Sedangkan bagi Rabi’ah, lapar dan dahaga itu adalah kepada Tuhan itu sendiri. Jalaluddin Rumi berkata, “..sungguh sangat kasihan seseorang yang ingin mencapai laut hanya terpuaskan oleh secangkir air..” Bagi Rabi’ah maupun Rumi, cinta hakiki adalah Allah itu sendiri. Sedangkan cinta sesama, diantara manusia dianggap sebagai sesuatu yang dipinjamkan Tuhan itu sendiri, seperti yang dikatakan oleh Rumi, “Seseorang harus mencari kepuasan Tuhan, bukan kepuasan manusia. Karena kepuasan, cinta, simpati, dipinjamkan kepada manusia dan ditempatkan disana oleh Tuhan.”
Mungkin inilah syair yang paling popular dan syair puncak perasaan Rabi’ah al Adawiyah yang sangat menghujam kerasnya seluruh dinding-dinding hati dan mengguncangkan seluruh perasaan :
Yaa..Allah..
Jika aku menyembah-Mu karena takut neraka,
bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembah-Mu karena berharap surga,
campakkan aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata
Janganlah Engkau tutup keindahan wajah-Mu
yang abadi untukku
Entahlah, setiap membaca syair-syair Rabi’ah al Adawiyah maupun Jalaluddin Rumi, jiwa saya seakan menjadi kerdil. Saya selalu merasa terlempar kesebuah lembah yang asing, dimana saya tak pernah mengerti lagi tentang peta diri ada dimana. Begitu jauh untuk berjalan berpeluk dan bergandeng dengan mereka. Antara saya dan Rabi’ah serta Rumi, seperti dalam posisi : Saya ada di dasar jurang yang maha dalam dan mereka ada di atas langit tak berbatas. Alangkah bedanya. Alangkah jauhnya. Tetapi saya melihat seberkas cahaya dari keduanya.

;;